Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama
melakukan campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak kebencian
terhadap Belanda dan akhirnya meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi
kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam
tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah
sebagai Sultan Banjar.
Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran
Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat
Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan
Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di
pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai
Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai
Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di
Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai
Demang Leman dan Haji Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar
berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio. Ketika pertempuran sedang
berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi karena
menolak untuk menghentikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan
kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak
Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian,
Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan
Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah
Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi
serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan, namun setelah
mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil mematahkan
perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat
tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14
Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam
dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur dalam
pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal
Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman
seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam
setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar